Stop! Paradigma Mitos


“Chiko!” Teriakan Bu Melly terdengar cukup keras saat memanggil anaknya yang sedang asyik bermain “Awas ada polisi jangan bermain diluar! nanti ditangkap lho!” Sering kita mendengar ucapan-ucapan ancaman, menakut-nakuti seperti itu bahkan masih banyak lagi yang sudah dianggap “biasa” oleh sebagian orang dengan maksud supaya anak mau mengikuti perkataan orang tua. Secara kasat mata, hal tersebut dianggap tidak akan menimbulkan masalah bahkan di asumsikan akan memudahkan orang tua sebagai metode pembelajaran mengurusi anak yang susah di atur. Namun, secara tidak langsung perkataan-perkataan itu akan mempengaruhi psikologis anak yang sifatnya hanya bisa menerima dan belum mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah. Kenapa demikian? Karena tanpa disadari, orang tua sama saja telah mengajarkan sikap ketidakjujuran pada anak secara terus menerus dan akan mengakibatkan “kebiasaan buruk” yang tertanam pada otak anak. Sehingga tidak heran jika pertumbuhan sikap moral  anak akan cenderung terbawa ke arah yang buruk hingga ia dewasa, yang contohnya sudah banyak kita jumpai di lingkungan kita yang disebut sebagai salah satu bentuk budaya . Hal ini jelas bertentangan dengan hadist dibawah ini :
“Peliharalah anak-anakmu dan perbaikilah budi pekertinya, sesungguhnya anak-anak itu adalah hadiah Allah kepadamu.”(Al-Hadist)
Paradigma metode pembelajaran yang melenceng dan terlihat sepele seperti inilah yang akan menjadi hal besar dalam mempengaruhi sikap moral anak bangsa. Mereka terlalu sering dijejali dengan hal-hal yang sifatnya berupa “mitos”. Lalu, bagaimana para penerus bangsa seperti kita mengatasinya? Apakah perlu ada perubahan paradigma tentang metode pembelajaran yang didasarkan pada mitos-mitos yang berkembang di masyarakat? Atau mungkinkah kita hanya akan duduk manis merenungi penobatan kita sebagai “korban” ?
Belum lagi selesai dengan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam negeri, sepertinya akan muncul masalah-masalah baru yang sekarang sedang menjadi trending topic dan menjadi sorotan yaitu akan adanya pelakasanaan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) di akhir tahun 2015 nanti sehingga menimbulkan pertanyaan besar.
Apakah Indonesia mampu bersaing di MEA 2015 nanti? Sudah siapkah negeri ini menjadi pemegang kendali?
Semua sedang gencar-gencarnya melontarkan ini itu tentang isu yang berhubungan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Baik yang tahu, sok tahu, mau tahu, tidak tahu dan tidak mau tahu pun membahas hal ini. Sebenarnya, dalam suatu kondisi, pasti akan membawa manfaat dan resiko tersendiri seperti halnya dengan pelaksanaan MEA di akhir tahun 2015. Semua ini tergantung dari proses pelaksanaannya dan pihak yang melaksanakannya. Dari sudut pandang pihak kita, sebagai masyarakat yang baik tentu kita harus mengikuti apa yang sudah menjadi kebijakan dari pemerintah, namun haruslah dengan sikap yang bijak karena sebagai negara penganut demokrasi lebih tepatnya demokrasi pancasila kita mempunyai hak untuk ikut andil dalam memberikan pendapat serta partisipasi demi kemajuan bangsa ini. Dan dalam penyampaiannya, sebagai bangsa yang dikenal berbudaya santun, alangkah indahnya jika dalam menanggapi suatu problema yang terjadi di negeri ini dengan cara dan sikap yang santun pula. Tidak perlu menunjukan anarkisme sebagai ungkapan cinta tanah air tapi pelajari dan awasi prosesnya, apalagi kedudukan kita adalah sebagai agen perubahan dan pembaruan yang seharusnya mampu merespon perubahan dan memiliki komitmen membangun bangsa dan masyarakat.
Selain itu, keyakinan masyarakat pada negara sendiri juga sangat penting dalam menentukan peningkatan kemajuan negara. Faktanya, banyak yang mempunyai anggapan bahwa semua yang berasal dari dalam negeri tidak sebagus dengan yang berasal dari luar negeri. Padahal, tidak semuanya seperti itu. Asumsi-asumsi masyarakat itulah yang perlu dibenahi agar tidak semakin parah. Semua bermula dari kebiasaan diri kita pada waktu kecil yang di anggap sebagai hal yang “biasa” yang sejatinya menjadi hal yang harus di “binasakan.
Lalu apa yang bisa kita dilakukan ?
Suatu pemikiran, anggapan, asumsi, pandangan, paradigma tidak logis dan belum bisa dibuktikan yang diterapkan sebagai metode pembelajaran sudah seharusnya dihilangkan sejak awal, namun jika memang sudah terlanjur masih ada cara untuk mengubahnya dan untuk yang masih dalam proses pembelajaran sangat penting untuk menerapkan metode pembelajaran yang baik dan benar sejak dini karena sesungguhnya “Pencegahan lebih baik daripada pengobatan”(Johann Wolfgang von Goethe) dan semua itu bisa dilakukan asal kita mau melakukannya.
Dimulai dari  diri sendiri
Apa gunanya mempengaruhi orang lain jika diri sendiri belum melakukannya. Terkadang suatu hal besar akan dimulai dari hal-hal yang kecil. Tentu lebih mudah mengajak diri sendiri dibanding mengajak orang lain. Karena yang mengatur diri adalah kita sendiri. Jadi tetapkan pemikiran-pemikiran yang bijak, yang sesuai dengan apa yang seharusnya dan membawa manfaat besar dengan  meyakini sepenuhnya tentang pemikiran tersebut. Ubah pandangan yang tidak relevan dengan fakta dan selalu berfikir ilmiah.
Tularkan pada keluarga
Setelah diri sendiri, barulah memulai untuk menularkan pemikiran-pemikiran tersebut kepada keluarga karena dengan perlahan kebiasaan-kebiasaan kita juga akan diikuti oleh mereka. Dan tentunya tidak akan terlalu sulit sebab kelurga adalah orang yang akan sering kita temui setiap harinya.
Ceritakan kepada teman
Teman juga akan menjadi target yang akan dipengaruhi. Pada dasarnya, mereka juga mempunyai relasi terhadap berbagai pihak yang sering mereka temui seperti keluarga dan lingkungan sekitarnya. Sehingga, lama-kelamaan pengaruh tersebut akan tersebar lebih luas ke semua orang.
Perluas sosialisasi ke lingkungan sekitar
Lingkungan sekitar juga masih dalam ruang lingkup terdekat pada diri kita, sehingga dalam implementasinya juga akan mudah dan nantinya akan menyebar ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat yang terdengar dari mulut ke mulut.
Untuk mempengaruhi semua target tersebut dan meningkatkan kualitas dari moral bangsa, maka dalam waktu dekat hal ini harus dilakukan.
“Cara untuk menjadi di depan adalah dengan memulainya sekarang. Jika memulai sekarang, tahun depan anda akan tahu banyak hal yang sekarang tidak anda ketahui, dan anda tak akan mengetahui masa depan jika Anda menunggu-nunggu” (William Feather)
Masalah yang sedang kita hadapi saat ini ialah masalah budi pekerti bangsa yang terasa semakin luntur dimakan zaman modern yang semakin berkembang. Seharusnya kebiasaan-kebiasaan buruk pola pemikiran dan perilaku masyarakat bisa mengajarkan yang baik dan benar kepada para penerus mereka. Bukan malah mengisi otak mereka dengan hal-hal tidak logis yang tidak berdasar dan semrawut yang semakin lama bisa menggerogoti hati dan pikirannya. Maka dari itu, salah satu upaya yang dapat kita lakukan ialah dengan mengubah paradigma-paradigma yang masih bersumber pada mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, melunturkan “kebiasaan buruk” dan menciptakan “kebiasaan pemain”.

Jadi, dengan akan diberlakukannya MEA 2015, maka kehidupan baru pun segera tiba. Kehidupan yang akan lebih menantang dan penuh dengan kompetisi akan mengisi hari-hari kita. Sebagai penerus bangsa sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga dan melindungi bangsa dengan mengupayakan segala kekuatan yang ada agar negeri ini bisa menjadi pemain yang handal bukan hanya sebagai penonton setia. Dan semua itu dilakukan secepatnya secara bertahap, dimulai dari diri sendiri, keluarga, teman dan lingkungan sekitar dengan harapan pengaruh tersebut akan membawa dampak positif yang secara tidak langsung akan meningkatkan tingkat prestasi personal pada khususnya dan tingkat pendidikan nasional pada umumnya. Sehingga mampu untuk menghadapi MEA 2015 dan menjadi negara inspirasional di mata dunia bukan hanya sekedar mitos.


Oleh: Novrendina Prasastiningtyas

Posting Komentar

0 Komentar